Setiap Minggu pagi di Bandung selalu menawarkan pengalaman jalan kaki yang istimewa. Udara yang masih sejuk dan bersih, mentari yang belum menyengat, serta suasana kota yang terasa melambat, menciptakan momen ideal untuk menjelajahi keindahan pagi. Pagi itu, saya mengawali penelusuran dari Holiday Inn Pasteur, sebuah akomodasi yang strategis di kawasan Terusan Pasteur.
Dengan langkah santai, saya beranjak keluar hotel, bersiap menyusuri jalan-jalan di Bandung. Ironisnya, trotoar di sekitar kawasan ini justru terasa kurang ramah bagi pejalan kaki, kontras dengan harapan akan kenyamanan.
Tujuan penjelajahan kali ini adalah menyusuri kawasan Sukagalih, khususnya melalui jalur-jalur sempit yang justru menawarkan pengalaman mengasyikkan. Langkah pertama, saya berbelok kiri memasuki Jalan Haji Yasin, sebuah gang yang begitu sempit hingga hanya bisa dilalui satu kendaraan.
Meskipun sempit, Jalan Haji Yasin ini terasa begitu hidup. Memasukinya seolah berpindah dimensi; dari hiruk pikuk jalan besar dan kemewahan hotel, saya tiba-tiba berada di tengah deretan rumah penduduk yang padat, dihiasi tiang-tiang listrik rendah, dan disambut merdunya kicau burung serta celotehan anak-anak yang asyik bermain. Aroma tahu Sumedang yang baru digoreng menyeruak dari pedagang yang sedang bersiap, sementara beberapa ibu sibuk menyapu halaman. Inilah potret Bandung yang otentik: padat, namun penuh interaksi dan kehidupan lokal yang kental.
Saya terus melangkah, menyusuri gang sempit ini menuju Sukagalih. Tujuan awal saya sebenarnya cukup sederhana: bernostalgia dengan mengunjungi rumah Mbak Yadi, tempat saya ngekos di masa lalu, yang kini sudah menjadi Eyang Yadi. Namun, kekecewaan datang saat mengetahui rumahnya kosong, kabarnya beliau sedang berada di Pamulang. Tak hanya itu, banyak rumah di gang ini juga telah berubah; sebagian direnovasi menjadi lebih modern, sementara yang lain tampak kosong, seolah ditinggalkan oleh penghuninya. Ini menunjukkan perubahan Bandung yang terus berlangsung, bahkan di sudut-sudut paling personal.
Langkah kaki kemudian membawa saya ke Gang H. Gojali, sebuah nama yang tak asing di telinga saya dari masa lampau. Namun, saya tertegun menyaksikan sebuah perubahan monumental: lahan kuburan yang dulu terhampar di sana kini telah tiada.
Sebagai gantinya, kini berdiri megah bangunan sekolah Muhammadiyah, dengan riuhnya anak-anak berseragam yang berseliweran. Tak jauh dari situ, Masjid Al-Ittihad juga kokoh berdiri. Sebuah pertanyaan melintas dalam benak: mungkinkah kompleks ini dulunya adalah area pemakaman? Ingatan saya samar, namun saya hanya bisa berdiri mematung di depan pagar, merenungkan dalam diam betapa tempat yang dahulu sunyi dan sarat doa kini telah bertransformasi menjadi ruang belajar yang penuh semangat. Sebuah pikiran kecil muncul: apakah anak-anak yang berlarian di sana menyadari bahwa di bawah pijakan kaki mereka, pernah terbaring nisan-nisan tua?
Setelah momen perenungan itu, saya kembali ke Jalan Sukagalih dan memilih rute yang berbeda. Saya berbelok kanan, lalu ke kiri, memasuki Jalan Cipedes Selatan. Jalan ini terasa lebih lebar dan pagi itu cukup ramai. Namun, ciri khas jalanan Bandung tempo dulu masih sangat terasa: banyaknya tikungan, deretan rumah berpagar rendah, serta papan pengumuman khas RW yang tertempel di pohon atau tiang listrik, seolah menjadi penanda waktu.
Salah satu hal yang langsung menarik perhatian saya adalah sebuah papan informasi kos-kosan. Sebuah rumah besar berlantai tiga menawarkan kamar sewa, namun di bawahnya terpampang jelas sebuah catatan yang cukup mencolok dan memancing pikiran: “Tidak menerima wanita malam dan LGBT.”
Saya sontak berhenti, membiarkan pikiran berkelana. Dalam hati saya membatin, ‘Memangnya ada yang akan mengaku terus terang?’ Bagi saya, tulisan ini, meskipun mungkin bermaksud menjadi penanda moral, justru terasa seperti sebuah penghakiman terbuka, yang kontras dengan nuansa keramahan Bandung.
Lucunya, tak jauh dari sana, terpampang spanduk lain yang menawarkan kos “Khusus Muslimah”. Pesan yang disampaikan jauh lebih sederhana dan tenang, tanpa nada mengusir, namun memunculkan pertanyaan lain: bukankah seorang muslimah sudah pasti seorang wanita?
Di antara dua papan pengumuman yang kontras itu, saya tersenyum kecil sendiri. Mungkin inilah cermin kecil bagaimana masyarakat berusaha menegosiasikan ‘nilai’ dan ‘ketakutan’ mereka di ruang publik; niat untuk tegas justru berujung pada ambiguitas.
Selanjutnya, perhatian saya tertuju pada sebuah bangunan tua berwarna oranye dan kuning, yang ternyata adalah kantor pos lama Bandung. Meskipun sudah tidak beroperasi, plangnya masih terpasang, dan dindingnya yang kusam tetap kokoh berdiri, seolah menolak lekang oleh waktu. Saya sempat mengabadikannya sebentar. Bangunan-bangunan seperti ini adalah artefak kota yang sering terlupakan; mereka diam, namun sarat dengan berbagai cerita sejarah Bandung yang tak terucapkan.
Tidak jauh dari lokasi itu, terpampang pula sebuah pengumuman warga yang cukup serius dan mengkhawatirkan: “Karena maraknya pembuangan sampah sembarangan dan kasus begal pada malam hari, Jalan Cipedes Selatan akan ditutup (diportal) setiap malam mulai pukul 22.00 hingga 05.00 WIB.”
Saya membaca pengumuman itu perlahan, merenungkan isinya. Rasanya seperti membaca ringkasan dua masalah urban krusial dalam satu kalimat: ketidakdisiplinan warga dalam pengelolaan sampah dan tingginya ketakutan sosial akan kriminalitas malam. Sampah dan begal; keduanya bukanlah persoalan sepele. Namun, solusi yang dipilih adalah yang paling praktis dan masuk akal menurut warga setempat: pemasangan portal. Sebuah pendekatan yang efektif secara fisik, meski belum tentu tuntas dalam mengatasi akar masalahnya.
Perjalanan penelusuran pagi itu akhirnya membawa saya kembali ke Jalan Junjunan. Dari kejauhan, bangunan megah Holiday Inn Pasteur sudah terlihat, seolah memanggil pulang. Saya kembali memasuki lobi hotel, kali ini dengan membawa segudang impresi dan kenangan: dari gang-gang lama yang menyimpan sejarah, papan kos yang jujur sekaligus absurd, bekas kuburan yang kini bertransformasi menjadi sekolah, hingga jalanan kecil yang dipagari oleh rasa cemas dan upaya menjaga keamanan.
Terkadang, jalan kaki di kota seperti ini jauh lebih membuka mata dan pikiran daripada seminar atau lokakarya. Kota tak pernah benar-benar diam; selalu ada perubahan yang terjadi, dan selalu ada cerita yang ‘berbicara’ melalui detail-detail kecil yang tersembunyi. Yang terpenting adalah berjalan dengan santai, dan cukup peka untuk ‘mendengarkan’ narasi-narasi tak terucap dari sudut-sudut kota Bandung ini.
Ringkasan
Artikel ini menceritakan pengalaman penulis saat berjalan kaki di kawasan Sukagalih, Bandung. Penulis memulai perjalanan dari Holiday Inn Pasteur dan menyusuri gang-gang sempit seperti Jalan Haji Yasin, menemukan potret kehidupan lokal yang kental dengan interaksi antar warga dan aroma kuliner tradisional. Penulis juga bernostalgia dengan mengunjungi bekas tempat kos, namun mendapati banyak perubahan, termasuk lahan kuburan yang kini menjadi sekolah Muhammadiyah.
Perjalanan dilanjutkan ke Jalan Cipedes Selatan, di mana penulis menemukan papan informasi kos-kosan yang unik dan kontras, mencerminkan upaya masyarakat menegosiasikan nilai dan ketakutan. Penulis juga menemukan bangunan-bangunan tua seperti kantor pos lama yang menjadi artefak kota, serta pengumuman warga tentang penutupan jalan akibat masalah sampah dan begal. Pengalaman ini memberikan wawasan tentang perubahan kota, narasi tak terucap, dan detail-detail kecil yang tersembunyi di sudut-sudut Bandung.