Sembilan belas tahun silam, sebuah perjalanan tak terlupakan membawa saya menyelami belantara Kalimantan Tengah. Bukan sekadar tugas, ini adalah petualangan hidup sebagai tenaga paramedis dalam proyek eksplorasi batubara yang penuh tantangan.
Area penugasan utama saya terbentang di Camp Pemantang dan Haju. Menuju lokasi, saya harus menempuh perjalanan panjang dan melelahkan, melintasi udara, sungai, hingga jalur darat. Meskipun berat, setiap detik perjalanan itu menyimpan kenangan yang tak terlupakan dan penuh kesan menyenangkan.
Titik awal keberangkatan saya bermula dari asrama karyawan di Jakarta Selatan. Dari sana, petualangan udara dimulai, membawa saya ke Bandar Udara Soekarno Hatta, sebelum melanjutkan penerbangan menuju Bandar Udara Sepinggan di Balikpapan.
Setelah singgah sejenak di kantor cabang Balikpapan, perjalanan udara kembali berlanjut. Kali ini, tujuan kami adalah Bandar Udara Dirung di Puruk Cahu, sebuah gerbang menuju Murung Raya, Kalimantan Tengah.
Setibanya di Puruk Cahu, saya dijemput dan diantar menuju kantor untuk beristirahat sejenak, mempersiapkan diri untuk etape berikutnya. Tak lama, perjalanan berlanjut, kali ini menyusuri sungai. Beberapa jam kemudian, saya akhirnya tiba di Base Camp Muara Tuhup, sebuah titik penting yang menandai pengalaman perjalanan yang luar biasa mengesankan.
Di Base Camp Muara Tuhup, usai menyapa wajah-wajah baru, menikmati makan siang, dan menunaikan salat, perjalanan dilanjutkan menuju lokasi eksplorasi yang sesungguhnya. Kami menyusuri jalan darat— sebuah jalan logging yang belum beraspal, dulunya sering dilalui truk-truk besar pengangkut kayu, kini menjadi jalur utama menembus lebatnya hutan Kalimantan.
Di tengah perjalanan menembus hutan, kami sempat mampir lagi, sebuah kesempatan untuk berkenalan dengan rekan-rekan lain yang sedang bertugas. Setelah interaksi singkat, perjalanan pun dilanjutkan, hingga akhirnya tiba di tujuan akhir: Camp Pemantang.
Pada masa itu, akses komunikasi menjadi tantangan tersendiri. Media sosial belum populer, dan gawai pun masih tergolong barang mewah bagi saya. Sinyal telekomunikasi sangat sulit ditemukan. Jika ingin mendapatkan sinyal, kami harus rela berjalan kaki dan mendaki ‘Bukit Cinta’—istilah populer di kalangan kami para pencari sinyal. Dalam kondisi darurat, kami diperbolehkan menggunakan telepon satelit dengan durasi terbatas, menjadi satu-satunya jembatan ke dunia luar.
Namun, di balik segala kesulitan logistik itu, pengalaman ini adalah lebih dari sekadar penugasan. Ini adalah kisah tentang perjuangan, eratnya persahabatan, dan pembelajaran hidup yang tak ternilai harganya.
Berada di tengah hutan belantara Kalimantan, setiap hari adalah sebuah tantangan baru. Namun, justru di sanalah saya memahami bahwa setiap kesulitan yang kami hadapi bukanlah sebuah kesusahan, melainkan cara Tuhan menguatkan kami, membentuk kami menjadi pribadi yang tangguh dan berdaya.
Setiap rintangan dan hambatan yang menghadang adalah tempaan berharga yang membentuk mental dan karakter, mengasah ketahanan diri.
Saya bersyukur atas setiap momen yang dilalui, setiap tawa renyah, dan setiap peluh yang tercurah bersama rekan-rekan seperjuangan. Dari merekalah, saya benar-benar belajar dan memahami arti sesungguhnya dari kebersamaan dan solidaritas.
Pengalaman berharga ini tak hanya berkisah tentang menyembuhkan luka fisik yang dialami rekan-rekan saat bekerja, melainkan juga tentang bagaimana kami menemukan kekuatan batin dan menjalin persahabatan yang erat di tengah belantara hutan. Meskipun berbeda suku, bahasa, keyakinan, dan profesi, kami semua bersatu dalam kekompakan yang luar biasa.
Hingga kini, hikmah dari petualangan 19 tahun silam itu tetap melekat kuat dalam sanubari. Hidup memang sebuah perjuangan, namun di setiap langkahnya, selalu ada ruang yang luas untuk tumbuh, belajar, dan menjadi pribadi yang lebih baik.
Maka, mari terus melangkah maju, menghadapi setiap tantangan dengan semangat membara, dan senantiasa meyakini bahwa setiap ujian yang kita hadapi adalah bagian dari rencana-Nya untuk menempa kita menjadi pribadi yang jauh lebih kuat.
Ringkasan
Artikel ini menceritakan pengalaman seorang paramedis yang bertugas di proyek eksplorasi batubara di belantara Kalimantan Tengah 19 tahun lalu. Perjalanan menuju lokasi tugas di Camp Pemantang dan Haju sangat panjang dan melelahkan, meliputi perjalanan udara, sungai, dan darat melalui jalan logging di tengah hutan Kalimantan.
Meskipun akses komunikasi sulit, pengalaman tersebut menjadi kisah perjuangan, persahabatan, dan pembelajaran hidup yang berharga. Di tengah hutan belantara, tantangan dihadapi setiap hari, membentuk pribadi yang tangguh, mengasah mental dan karakter, serta menjalin persahabatan erat lintas suku, bahasa, keyakinan, dan profesi.