“Kadang, petualangan terbaik bukanlah yang direncanakan, melainkan yang tak terduga, yang kemudian ditafsirkan ulang oleh langkah kaki kita sendiri.”
Pukul sembilan pagi, saya meninggalkan penginapan di Stifftstrasse, siap menjelajahi Frankfurt. Udara dingin khas Februari menyelimuti kota. Langit Frankfurt diselimuti awan tipis. Ponsel saya mengingatkan: walking tour Kota Tua pukul 13.00, titik kumpul di depan Bursa Efek Frankfurt. Masih banyak waktu untuk eksplorasi mandiri.
Sebelum memulai petualangan, saya mampir ke sebuah kafe dekat stasiun Hauptwache. Stasiun ini ternyata cukup besar, melayani strassenbahn (tram) dan U-Bahn (kereta bawah tanah). Segelas cappuccino hangat dan sepotong Berliner Ball menemani sarapan saya. Duduk di dekat jendela, saya mengamati lalu-lalang orang-orang dengan jaket tebal dan langkah percaya diri. Frankfurt: kota profesional, namun tetap terasa bersih dan manusiawi, kapitalis namun tetap ramah.
Setelah sarapan, saya menuju U-Bahn. Suasana stasiun Hauptwache ramai, dipenuhi kios makanan, buah-buahan, bahkan sebuah supermarket. Sebagai stasiun transit utama, puluhan jalur kereta U-Bahn dan S-Bahn bersimpang siur di sini. Saya membeli Tageskarte (tiket harian) seharga 7.10 Euro dari VGF (Verkehrsgesellschaft Frankfurt am Main), perusahaan transportasi Frankfurt.
Tanpa tujuan pasti, saya naik kereta jalur U6 tujuan Hausen. Gerbong cukup padat, namun masih ada beberapa kursi kosong. Seorang perempuan tua asyik membaca Frankfurter Allgemeine Zeitung, koran ternama Jerman. Kenangan masa belajar bahasa Jerman muncul; saya sering membaca Süddeutsche Zeitung (SZ) dari Munich dan majalah Der Spiegel. Sepasang remaja di samping saya menikmati musik lewat headphone. Saya menikmati kesunyian tertib khas Jerman, negeri yang dikenal dengan kedisiplinannya.
Dua stasiun kemudian, di Westend, saya turun. Muncul di permukaan, saya disambut pemandangan tak terduga: kawasan asri dengan jalan lebar dan taman luas, salah satunya Rothschild Park. Taman ini, menurut papan informasi, merupakan taman pertama keluarga Rothschild yang dibangun pada abad ke-19. Namun, cuaca dingin dan suasana sepi membuat saya tak betah lama.
Kembali ke stasiun Westend, saya naik U6 menuju arah sebaliknya, Oost Bahnhof. Satu stasiun kemudian, saya turun di Alteoper dan disambut pemandangan megah Alte Oper, atau “Gedung Opera Lama”.
Alte Oper: Keindahan Musik yang Bangkit dari Reruntuhan
Bangunan neoklasik ini bukan sekadar gedung konser. Dibangun pada 1880, Alte Oper pernah dianggap salah satu gedung opera terindah di Eropa. Rancangan arsitek Richard Lucae menjadi simbol kejayaan musik klasik Jerman. Namun, Perang Dunia II menghancurkannya. Pada 1944, bom Sekutu meluluhlantakkan bangunan ini, menyisakan puing dan rangka. Disebut “kecantikan yang hancur”, pada 1970-an, masyarakat dan pemerintah kota memutuskan untuk membangunnya kembali. Diresmikan pada 1981, Alte Oper kini menjadi gedung konser modern dengan fasad asli yang direstorasi, menampilkan prasasti “Dem Wahren Schönen Guten” – Untuk Yang Benar, Yang Indah, dan Yang Baik – sebuah dedikasi abadi bagi seni.
Saya menikmati suasana tenang di depan Alte Oper: air mancur, pasangan muda bermain dengan anjing, dan pemain biola jalanan memainkan lagu Mozart. Frankfurt mengajak saya berjalan perlahan, dan saya pun mengikutinya.
Setelah itu, saya berjalan menuju Eschenheimer Turm, salah satu menara abad pertengahan yang masih berdiri kokoh di Frankfurt. Dibangun sekitar tahun 1400-an, menara ini dulunya bagian dari sistem pertahanan kota, kini menjadi landmark ikonik di tengah gedung-gedung modern.
Dari Eschenheimer Tor, saya naik U-Bahn jalur U1 menuju Sudbahnhof, turun di Sachsenhausen. Saya menikmati perjalanan, melewati stasiun-stasiun yang belum saya kenal, mengamati para penumpang. Akhirnya, saya sampai di Otto-Han Platz, sebuah taman kecil yang tenang.
Pukul 12.00, saya memutuskan untuk menuju titik kumpul walking tour. Saya memilih S-Bahn menuju Frankfurter Wertpapierbörse (Bursa Frankfurt). Namun, saya salah naik trem, malah menuju Pffenbach, bukan Hauptbahnhof untuk berganti ke U-Bahn menuju Hauptwache. Akibatnya, saya sampai di depan patung Bull and Bear pukul 12.58, tepat sebelum walking tour dimulai.
Bursa Frankfurt: Patung, Pilar, dan Pasar yang Tak Pernah Tidur
Bursa Efek Frankfurt adalah lambang denyut nadi ekonomi Jerman dan Eropa. Didirikan pada abad ke-16, gedungnya yang sekarang dibangun pada akhir abad ke-19 bergaya neorenaissance. Pilar-pilar tinggi dan fasad tenang menyembunyikan hiruk-pikuk transaksi pasar uang yang tak pernah tidur. Namun, daya tarik terbesarnya bagi turis adalah dua patung perunggu besar: banteng dan beruang, berhadapan seperti sedang bertarung.
Bull & Bear: Filosofi Pasar dalam Patung
Simbol banteng dan beruang merepresentasikan bull market (pasar naik) dan bear market (pasar turun). Banteng melambangkan optimisme dan kenaikan harga saham, sementara beruang melambangkan penurunan dan kehati-hatian. Keduanya simbol kekuatan yang berlawanan namun saling melengkapi. Patung karya Jürgen Goertz (1985) ini menjadi ikon Frankfurt. Banyak yang menyentuh kepala banteng untuk keberuntungan.
Saya ketinggalan walking tour, namun menemukan sesuatu yang lebih personal. Duduk di depan simbol kapitalisme, saya merasakan ketenangan. Perjalanan tak selalu tentang tujuan, melainkan bagaimana kita hadir di sana. Terkadang, perjalanan sendiri lebih berkesan.
Saya meninggalkan Bursa, hari masih siang. Tidak ikut walking tour bukanlah akhir cerita, justru awal cerita saya. Rencana selanjutnya: mencari masjid dan makan siang. “Langkah kaki boleh tak sampai ke tujuan yang direncanakan, tapi setiap langkah tetap akan sampai pada cerita yang layak dikenang.”
Ringkasan
Penulis mengunjungi Frankfurt dan menjelajahi kota secara spontan, menggunakan transportasi umum seperti U-Bahn dan S-Bahn. Ia mengunjungi beberapa tempat menarik, termasuk Alte Oper (Gedung Opera Lama) yang dibangun kembali setelah kerusakan parah pada Perang Dunia II, dan Eschenheimer Turm, menara abad pertengahan yang menjadi landmark kota. Perjalanan penulis juga mencakup kunjungan ke Rothschild Park dan beberapa stasiun U-Bahn, memberikan gambaran tentang kehidupan sehari-hari di Frankfurt.
Puncak kunjungannya adalah Bursa Efek Frankfurt, di mana penulis melihat patung Bull dan Bear yang menjadi simbol bull market dan bear market. Patung-patung tersebut merepresentasikan optimisme dan pesimisme dalam pasar saham, menggambarkan kekuatan yang berlawanan namun saling melengkapi dalam dunia keuangan. Meskipun ketinggalan walking tour, penulis merasa perjalanan individualnya lebih berkesan.