Hari Arafah, 9 Zulhijah 1446 H (2025 M), membangkitkan kembali kenangan akan perjalanan ibadah haji saya tahun 2023. Setelah penantian sebelas tahun dan kegagalan dalam program haji furoda tahun 2017, panggilan Allah SWT. untuk menunaikan ibadah haji akhirnya terwujud, menimbulkan rasa haru dan sukacita yang mendalam.
Selama 42 hari di Madinah dan Mekah, saya mengalami begitu banyak pengalaman berharga. Namun, rangkaian ibadah di Armuzna (Arafah, Muzdalifah, dan Mina) meninggalkan kesan yang tak terlupakan. Detik-detik menjelang keberangkatan ke Padang Arafah terasa menegangkan. Untuk menghadapinya, saya banyak beristigfar dan berzikir, mengutamakan kesucian hati dan keikhlasan di atas segalanya, bukan sekadar penampilan lahiriah.
Setelah menunaikan salat jama’ taqdim qasar Zuhur dan Asar pada tanggal 8 Zulhijah, mengenakan pakaian ihram, dan berniat haji serta melaksanakan salat sunah, kami menunggu bus menuju Padang Arafah. Sebagian jemaah dari kloter 15 memilih melaksanakan ibadah Tarwiyah, berangkat ke Mina setelah salat Subuh untuk beribadah di sana hingga Subuh keesokan harinya. Ibadah Tarwiyah ini dilakukan secara mandiri, tanpa fasilitasi pemerintah, sehingga membutuhkan persiapan transportasi sendiri, baik dengan menyewa taksi maupun berjalan kaki jika jaraknya memungkinkan.
Setelah fajar menyingsing pada 9 Zulhijah, jemaah Tarwiyah bergabung dengan jemaah lain di Arafah untuk melaksanakan wukuf. Bagi jemaah yang tidak melaksanakan Tarwiyah, perjalanan menuju Padang Arafah dilakukan dengan bus. Maktab 31, yang terdiri dari sekitar tujuh kloter, hanya menyediakan sembilan bus besar dengan kapasitas sekitar 65 jemaah per bus.
Akibat keterbatasan bus dan kemacetan, kloter 15 baru bisa berangkat pukul 15.30 Waktu Arab Saudi. Di sinilah terjadi peristiwa yang tak terduga. Saat hendak naik bus, pintu tiba-tiba ditutup oleh sopir, sementara suami saya sudah berada di dalam. Sopir bersikeras menolak menambah satu penumpang, meskipun pimpinan KBIHU telah meminta untuk membuka pintu. Hanya kami berdua yang tertinggal, sementara bus-bus lain sudah berangkat. Pengumuman melalui mikrofon mengingatkan agar tidak ada jemaah yang tertinggal.
Lutut saya lemas, air mata berlinang, hanya doa yang mampu saya panjatkan: “Ya Allah, ampuni dosa saya, pantaskan saya memenuhi panggilan-Mu ya Allah.” Tiba-tiba, seorang petugas haji perempuan muda menggedor-gedor kaca bus dan dengan lantang, dalam bahasa Arab, menyuruh sopir membuka pintu. Beliau membantu membawa tas saya dan mempersilakan saya naik. Saya mengenali beliau sebagai petugas konsumsi yang pernah saya ajak bicara di hotel. Betapa bersyukurnya saya atas pertolongan tak terduga ini!
Sepanjang perjalanan menuju Padang Arafah, saya terus beristigfar, bersyukur, dan melantunkan talbiyah: “Labbaikallahumma labbaik, labbaika la syarika laka labbaik. Innal hamda wan ni’mata laka wal mulk. La syarika laka.” Setelah dua jam perjalanan dari hotel di Raudah, kloter 15 Maktab 31 akhirnya tiba di Padang Arafah.
Wukuf di Padang Arafah merupakan rukun haji yang wajib dilaksanakan. Jemaah yang sakit dapat melakukan safari wukuf, menunaikan seluruh rangkaian ibadah di dalam ambulans dengan pendampingan medis. Wukuf dimulai setelah Zuhur, diawali khutbah wukuf, salat jama’ qasar Zuhur dan Asar berjamaah, dilanjutkan zikir dan doa hingga waktu Magrib. Suasana wukuf di Arafah sangat khusyuk, merupakan saat untuk merendahkan diri di hadapan Allah SWT., memohon ampun, dan melakukan introspeksi diri.
Setelah wukuf di Arafah, pada malam 10 Zulhijah, jemaah menuju Muzdalifah untuk mabit. Mabit di Muzdalifah merupakan rangkaian penting ibadah haji. Jemaah idealnya tiba sebelum tengah malam, melaksanakan salat jama’ Magrib dan Isya, dan bermalam di bawah langit terbuka. Namun, karena keterlambatan, kloter 15 melaksanakan salat jama’ taqdim Magrib dan Isya di tenda Arafah.
Ada dua skema mabit di Muzdalifah: skema normal, di mana jemaah turun dari bus dan bermalam di Muzdalifah hingga Subuh; dan skema Murur, diperuntukkan bagi lansia, jemaah sakit, difabel, dan pendamping, yang tidak turun dari bus dan langsung menuju Mina setelah berdoa di Muzdalifah. Kami tiba di tenda Mina saat Subuh.
Rangkaian selanjutnya adalah lempar jumrah di Mina pada 10 Zulhijah. Kami melaksanakan lempar jumrah Aqabah setelah Asar. Karena nafar awal, lempar jumrah Ula, Wusta, dan Aqabah (masing-masing 7 kerikil, total 49 kerikil) dilakukan pada 11 dan 12 Zulhijah. Nafar thani, melempar jumrah setelah Aqabah pada 10 Zulhijah, dan dilanjutkan pada 11, 12, dan 13 Zulhijah. Pada 12 Zulhijah, setelah lempar jumrah terakhir, kami kembali ke hotel di Mekah sebelum Magrib.
Perjalanan haji belum berakhir. Thawaf Ifadah, sai di Masjidil Haram, dan tahalul tsani masih menunggu. Kami menunggu bus salawat pada 14 Zulhijah untuk melaksanakannya. Masa tunggu dimanfaatkan untuk istirahat dan memulihkan stamina. Perjalanan haji membutuhkan fisik yang kuat, oleh karena itu menjaga asupan makanan, minum yang cukup, dan mengonsumsi vitamin serta oralit sangat penting untuk mencegah dehidrasi.
Terima kasih atas apresiasinya. Salam dari desa di Madiun.
https://himpuh.or.id/blog/detail/2732/jangan-sampai-salah-ini-tata-cara-mabit-di-muzdalifah-sesuai-sunnah-yang-wajib-diketahui-jemaah
Ringkasan
Pengalaman haji penulis di tahun 2023, khususnya rangkaian ibadah Armuzna (Arafah, Muzdalifah, Mina), meninggalkan kesan mendalam. Perjalanan menuju Arafah diwarnai oleh keterlambatan bus dan insiden hampir tertinggal, namun pertolongan tak terduga dari seorang petugas haji menyelamatkannya. Penulis menekankan pentingnya kesucian hati dan keikhlasan dalam menjalankan ibadah haji.
Wukuf di Arafah, rukun haji yang wajib, dijalani dengan khusyuk, diikuti dengan perjalanan ke Muzdalifah untuk mabit, dan selanjutnya lempar jumrah di Mina. Penulis menjelaskan perbedaan skema mabit di Muzdalifah (normal dan Murur) serta pelaksanaan lempar jumrah untuk nafar awal dan nafar thani. Perjalanan haji diakhiri dengan Thawaf Ifadah, sai, dan tahalul tsani.